Menjaga dan Mengawal Netralitas PNS

KOLOM0 views

Empat kader terbaik bangsa sedang melakukan proses merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional melalui perhelatan pilpres 2019. Suhu politik menjelang Pilpres 2019 sudah ‘panas’ dan sangat ‘mengkhawatirkan’. ‘Panas’ karena ‘suhu ‘ kedua kubu sudah naik, saling ‘menyerang’ dan saling ‘memanaskan’ kupingnya. Disebut mengkhawatirkan karena kelihatan budaya santun dan adab sebagai nilai luhur bangsa Indonesia mulai tergerus. Komen-komen yang bernada nyinyir dan benci terhadap para paslon bertebaran dimana dimana. Tulisan dan ucapan-ucapan yang jauh dari karakter asli bangsa ini seakan-akan sudah mulai pudar.

Deklarasi saling klaim mendukung kepada tiap Paslon semakin gencar. Bagi rakyat euforia saling mendukung secara terang-terangan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa biasa saja. Tapi tidak bagi rakyat yang berstatus ASN atau PNS.

Jika PNS terang- terangan mendukung paslon tertentu, maka PNS tersebut berlaku tidak netral. Virus ketidaknetralan PNS akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi di negara ini.

Jumlah PNS yang mencapai 4 juta 300 ribuan memang sangat menggiurkan bagi para calon dan timsesnya. Bila ada diantara mereka yang berhasil menggoda PNS untuk ikut terlibat
secara langsung dalam dukung-mendukung, maka efeknya akan merugikan, baik bagi PNS maupun bagi calon yang bersangkutan.

Biarkan para PNS bersikap netral. Netralitas PNS dalam Pilpres 2019 merupakan sebuah
keniscayaan. Meski petahana dan non petahana sedang bertarung memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, kita sebagai PNS tetaplah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baik. Tetap semangat melayani kepentingan semua masyarakat tanpa melihat dari kelompok mana masyarakat tersebut. Tidak terpengaruh dan tidak memihak manapun.Tidak terjebak oleh kepentingan politik praktis. Tidak ada istilah kubu-kubuan atau blok-blokan. Penulis meyakini bahwa setiap PNS mempunyai pilihan atau jagoan yang diharapkannya menang dan menjadi presiden dan wakil presiden. Tetapi pilihan itu cukuplah ditampakkan nanti pada hari pencoblosan yang ‘dieksekusi’ di dalam area kardus suara. Ketika di kardus suara, PNS mempunyai pilihan sendiri. Ia memiliki hak untuk memilih salah satu pasangan calon dengan cara mencoblosnya.

Setiap ASN/PNS mesti mengetahui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS). PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dinyatakan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN antara lain berdasarkan pada asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Pegawai Negeri Sipil dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden dengan cara:
a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Presiden dan Wakil Presiden;
b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c. Membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang/uang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.

Bahwa pemberian dukungan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada angka 2, meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung termasuk dengan menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, BBM, Line, SMS, lnstagram, Blog, dan sejenisnya.

Bahkan apabila PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politk, maka menurut Pasal 87 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PNS tersebut diberhentikan tidak dengan hormat.

PNS seyogyanya tetap takut pada terkena hukuman. PNS haruslah sabar, tidak boleh tergiur oleh besarnya uang dan rayuan ‘gombal’ dari para calon dan timses yang berusaha mendekatinya. PNS tetaplah istiqomah, komitmen dan konsisten pada jabatannya. Tidaklah PNS merengek-rengek minta jabatannya untuk dinaikkan atau dipertahankan dengan cara mendekati salah satu calon melalui keikutsertaannya menjadi tim sukses dan atau mengikuti kampanye. Tidaklah PNS menghinakan diri dengan menjadi ‘budak’ salah satu calon. PNS mesti menjauhi dari upaya melacurkan idealisme hanya untuk kepentingan sesaat dan pragmatisme.

Khusus kepada para calon dan timses, ‘bermainlah’ dengan ‘permainan’ yang
cantik, elegan, dan mempesona.Tidaklah ‘bermain’ dengan menjadikan PNS sebagai sarana pemenangan dirinya. Janganlah membuat diri menjadi rendah dan hina hanya gara-gara melibatkan PNS menjadi tim suksesnya. Calon dan timses yang berusaha untuk menggiring PNS supaya mendukung dirinya diyakini sebagai calon yang kurang percaya diri dan calon yang integritasnya patut dipertanyakan. Masih banyak warga negara yang non-PNS yang memiliki hak memilih, dengan jumlah sekitar 192 juta jiwa yang bisa diperebutkan untuk menjadi pendukungnya.

Akhirnya, semoga tulisan di atas menjadi bahan renungan bagi setiap PNS (khususnya penulis) sehingga mereka mempunyai tekad yang kuat dan kemauan keras untuk menghindarkan diri dari upaya dukung-
mendukung para calon. Upaya menghindaran diri itu pada tataran ‘endingnya’ diharapkan menjadikan PNS sebagai ASN yang benar-benar profesional dan netral. Mari kita sama-sama kawal netralitas PNS ini demi kebaikan bersama dan mendukung penciptaaan kondusifitas negara Indonesia tercinta.

Komentar